Thursday, March 3, 2016

REVIEW: GOD OF EGYPT (2016)

"Egypt has always been a paradise. But now, there is chaos. God of the air, you must protect the mortals," - Ra, God of The Sun.
Directed: Alex Proyas
Writter  : Matt Sazama and Burk Sharpless
Starring : Nikolaj Coster-Waldau, Gerard Butler, Brenton Thwaites, Chadwick Boseman, Elodie Yung, Courtney Eaton, Rufus Sewell, and Geoffrey Rush.


Film berdurasi 127 menit ini dibuka dengan monolog Bek (Breton Thwaites), seorang warga Egypt (i call it Egypt not Mesir, because of the tittle it self) yang menceritakan kemakmuran negerinya. Apalagi, hari itu Bek dan kekasihnya, Zaya (Courtney Eaton), serta ribuan rakyat Egypt akan menyaksikan prosesi penyerahan tahta raja dari Dewa Osiris (Bryan Brown) ke anaknya sang God of The Air, Dewa Horus (Nikolaj Coster-Waldau). Saat prosesi sedang berlangsung, datanglah Dewa Set (Gerard Butler), adik dari Osiris yang menjadi penguasa gurun. Bukannya memberi selamat pada sang ponakan, ia malah membunuh Osiris lalu mencongkel mata sakti Horus dan menyimpannya di tempat rahasia dengan sistem penjagaan yang ketat. Pada kekuasaan Set, penduduk Egypt sangat menderita karena diperlakukan seperti budak. Tak tahan dengan keadaan seperti itu, Bek dan Zaya berniat untuk mencuri mata Horus lalu memberikan kepada empunya yang sedang di perasingan.

Namun sayang, setelah berhasil mencuri satu mata Horus, Zaya malah tertembak anak panah seorang arsitek kepercayaan Set dan meninggal dunia. Demi menyelamatkan nyawa Zaya, Bek melalukan penawaran dengan Horus. Bek berjanji akan menuntunnya ke tempat satu matanya disimpan, dengan syarat Horus harus mengembalikan nyawa Zaya. Horus pun setuju dan petualangan mereka dimulai!

Sejarah Mesir selalu menarik untuk disimak. Baik itu mitosnya, budaya, hingga pakaian yang digunakan. Namun sayang, sepertinya God of Egypt mengulangi kesalahan yang dibuat oleh Exodus: Gods and Kings yang dikritik karena 'White Washer' atau para pemainnya yang rata-rata berkulit putih, padahal penduduk Mesir mayoritas berkulit cokelat. Isu rasis memang sedang menghangat di Hollywood. Bahkan pagelaran Academy Award ke 88 pun tak luput dari isu 'kaum putih' ini.

Terlepas dari isu hitam-putih ini, kritik yang didapat God of Egypt juga tidak bagus. Kalau saya pribadi, sangat terhibur menonton film ini. Namun jika harus bicara gamblang, visualisasi God of Egypt sungguh menyiksa. Efek CGI-nya terlihat low budget apalagi bagian para cast harus berjalan di gurun pasir. Wilayah sekitar Sungai Nil juga dibuat sangat cantik sebagai latar belakang cerita, namun tetap dengan CGI yang so so. Scene yang paling mengganggu adalah ketika Set dan Hodus beraksi di menara tinggi buatan Set. Mereka bertarung menggunakan tongkat dewa sakti, alhasil banyak sinar menyilaukan selama pertarungan berlangsung. Sinar-sinar yang keluar sangat mengganggu. Sangat silau seperti melihat mobil yang memakai lampu jauh. Mau tidak mau kita harus memejamkan mata.

Film ini juga menggambarkan Alam Baka. Percayalah bahwa bangian ini akan membuatmu merinding. Penggambaran Alam Baka di film ini mirip dengan apa yang ada di Agama Islam. Para arwah harus berjalan di kegelapan menuju tempat perhitungan amal dan dosa. Bedanya, di film ini diceritakan emas dan kekayaan lainnya akan menghantarkan arwah ke surga. Di akhir cerita, Horus mengubah peraturan tersebut. Bukan lagi harta yang menghantarkan manusia ke surga, tapi kebaikan dan perilaku di dunia yang akan menjadi tiket menuju surga.

Meski banyak hal yang tidak memuaskan dari film ini, saya tidak akan kapok menonton atau membaca mitos-mitos Mesir. Karena mitos-mitosnya sangat menarik diimbangi dengan sejarah yang indah. Sampai kapan pun, saya tidak akan bosan menonton film sejarah. Begitupun dengan film sejarah karya anak bangsa ^^

No comments:

Post a Comment

Pages - Menu